Jambi
berasal dari kata ‘Jambe’ dalam bahasa Jawa yang berarti ‘Pinang’. Kemungkinan
besar saat Tanah Pilih dijadikan tapak pembangunan kerajaan yang baru, pepohonan
pinang banyak tumbuh disepanjang aliran sungai Batanghari, sehingga nama itu
yang dipilih oleh Orang Kayo Hitam.
Berpedoman
pada buku sejarah De Oudste Geschiedenis van de Archipel bahwa Kerajaan Melayu
Jambi dari abad ke 7 s.d. abad ke 13 merupakan bandar atau pelabuhan dagang
yang ramai. Disini berlabuh kapal-kapal dari berbagai bangsa, seperti:
Portugis, India, Mesir, Cina, Arab, dan Eropa lainnya. Berkenaan dengan itu,
sebuah legenda yang ditulis oleh Chaniago menceritakan bahwa sebelum Kerajaan Melayu
jatuh ke dalam pengaruh Hindu, seorang puteri Melayu bernama Puteri Dewani
berlayar bersama suaminya dengan kapal niaga Mesir ke Arab, dan tidak kembali.
Pada
waktu lain, seorang putri Melayu lain bernama Ratna Wali bersama suaminya
berlayar ke Negeri Arab, dan dari sana merantau ke Ruhum Jani dengan kapal
niaga Arab. Kedua peristiwa dalam legenda itu menunjukkan adanya hubungan
antara orang Arab dan Mesir dengan Melayu. Mereka sudah menjalin hubungan
komunikasi dan interaksi secara akrab.
Kondisi
tersebut melahirkan interpretasi bahwa nama Jambi bukan tidak mungkin berasal
dari ungkapan-ungkapan orang Arab atau Mesir yang berkali-kali ke pelabuhan
Melayu ini. Orang Arab atau Mesir memberikan julukan kepada rakyat Melayu pada
masa itu sebagai ”Jambi”, ditulis dengan aksara Arab yang secara harfiah
berarti ’sisi’ atau ’samping’, secara kinayah (figuratif) bermakna ’tetangga’
atau ’sahabat akrab’.”
Provinsi
Jambi merupakan bekas wilayah Kesultanan Islam Melayu Jambi (1500-1901 M).
Kesultanan ini memang tidak berhubungan secara langsung dengan dua kerajaan
Hindu-Buddha pra-Islam. Sekitar abad ke 6 – awal 7 M, berdiri Kerajaan Melayu
(Melayu Tua) yang terletak di Muara Tembesi (kini masuk wilayah Batanghari,
Jambi). Catatan Dinasti Tang mengatakan bahwa awal abad ke 7 M dan lagi pada
abad ke 9 M, Jambi mengirim duta/utusan ke Empayar China (Wang Gungwu 1958;
74). Kerajaan ini bersaing dengan Sri Wijaya untuk menjadi pusat perdagangan.
Letak
Malayu yang lebih dekat ke jalur pelayaran Selat Melaka menjadikan Sri Wijaya
merasa terdesak sehingga perlu menyerang Malayu yang akhirnya tunduk kepada Sri
Wijaya. Muaro Jambi, sebuah kompleks percandian di hilir Jambi mungkin dulu
bekas pusat belajar agama Buddha sebagaimana catatan dari pendeta China I-Tsing
yang berlayar dari India pada tahun 671 M. Ia belajar di Sri Wijaya selama 4
tahun dan kembali pada tahun 689 Masehi bersama empat pendeta lain untuk
menulis dua buku tentang ziarah Buddha. Saat itulah ia menuulis bahwa Kerajaan
Malayu kini telah menjadi bagian dari Sri Wijaya.
Setelah
Sri Wijaya mulai pudar di abad ke 11 Masehi, ibu negeri dipindahkan ke Jambi (Wolters
1970: 2). Inilah Kerajaan Melayu (Melayu Muda) atau Dhamasraya yang berdiri di
Muara Jambi. Sebagai sebuah bandar yang besar, Jambi juga menghasilkan berbagai
rempah-rempahan dan kayu-kayuan. Sebaliknya dari pedagang Arab, mereka membeli
kapas, kain dan pedang. Dari Cina, sutera dan benang emas, sebagai bahan baku
kain tenun songket (Hirt & Rockhill 1964; 60-2).
Tahun
1278 Ekspedisi Pamalayu dari Singosari di Jawa Timur menguasai kerajaan ini dan
membawa serta putri dari Raja Malayu untuk dinikahkan dengan Raja Singosari.
Hasil perkawinan ini adalah seorang pangeran bernama Adityawarman, yang setelah
cukup umur dinobatkan sebagai Raja Malayu. Pusat kerajaan inilah yang kemudian
dipindahkan oleh Adityawarman ke Pagaruyung (pedalaman Minang atau Suruaso) dan
menjadi raja pertama sekitar tahun 1347 M. Kemudian di abad ke 15, Islam mulai
menyebar di Nusantara.
“Tanah
Pilih Pesako Betuah”. Seloka ini tertulis di lambang Kota Jambi. Dimana menurut
orang tua-tua pemangku adat Melayu Jambi, kononnya Tuanku Ahmad Salim dari
Gujarat (India) berlabuh di selat Berhala, Jambi dan mengislamkan orang-orang
Melayu disana. Beliau bernama lengkap Syeikh Ahmad Salim bin Syeikh Sultan
Al-Ariffin Sayyid Ismail. Beliau masih keturunan dari Syeikh Abdul Qadir
Al-Jailani.
Di
tempat baru ini, ia membangun pemerintahan baru dengan dasar Islam, bergelar
Datuk Paduko Berhalo dan menikahi seorang putri dari Minangkabau bernama Putri
Selaras Pinang Masak. Mereka dikurniakan empat orang anak, kesemuanya menjadi
datuk wilayah sekitar kuala tersebut. Adapun putra bungsu yang bergelar Orang
Kayo Hitam berniat untuk meluaskan wilayah hingga ke pedalaman, jika ada tuah,
membangun sebuah kerajaan baru. Maka ia lalu menikahi anak dari Temenggung
Merah Mato bernama Putri Mayang Mangurai. Oleh Temenggung Merah Mato, anak dan
menantunya itu diberilah sepasang Angsa serta Perahu Kajang Lako. Kepada anak
dan menantunya tersebut dipesankan agar menghiliri aliran Sungai Batanghari
untuk mencari tempat guna mendirikan kerajaan yang baru itu dan bahwa tempat
yang akan dipilih sebagai tapak kerajaan baru nanti haruslah tempat dimana
sepasang angsa bawaan tadi mau naik ke tebing dan mupur (berdiam) di tempat
tersebut selama dua hari dua malam.
terima kasih info tentang Jamabi
BalasHapus