Wilayah
administrasi Kerajaan Jambi meliputi daerah-daerah sebagaimana tertuang dalam
adagium adat “Pucuk Jambi Sembilan Lurah, Batangnyo Alam Rajo” yang artinya:
Pucuk yaitu ulu dataran tinggi, sembilan lurah yaitu sembilan negeri atau
wilayah dan batangnya Alam Rajo yaitu daerah teras kerajaan yang terdiri dari
dua belas suku atau daerah.
Secara
geografis keseluruhan daerah Kerajaan Jambi yakni:
1.
Daerah
Huluan Jambi: meliputi Daerah Aliran Sungai tungkal Ulu, Daerah Aliran Sungai
jujuhan, Daerah Aliran Sungai Batang Tebo, Daerah Sungai Aliran Tabir, daerah
Aliran Sungai Merangin dan Pangkalan Jambu.
2.
Daerah
Hilir Jambi : meliputi wilayah yang dibatasi oleh Tungkal Ilir, sampai Rantau
Benar ke Danau Ambat yaitu pertemuan Sungai Batang Hari dengan Batang Tembesi
sampai perbatasan dengan daerah Palembang.
3. Sebelum
diberlakukannya IGOB (Inlandsche Gemente Ordonantie Buitengewesten), yaitu
peraturan pemerintahan desa di luar Jawa dan Madura, di Jambi sudah dikenal
pemerintahan setingkat desa dengan nama marga atau batin yang diatur menurut
Ordonansi Desa 1906. Pada ordonansi itu ditetapkan marga dan batin diberi hak
otonomi yang meliputi bidang pemerintahan umum, pengadilan, kepolisian, dan
sumber keuangan.
4.
Pemerintahan
marga dipimpin oleh Pasirah Kepala Marga yang dibantu oleh dua orang juru tulis
dan empat orang kepala pesuruh marga. Kepala Pesuruh Marga juga memimpin
pengadilan marga yang dibantu oleh hakim agama dan sebagai penuntut umum adalah
mantri marga. Di bawah pemerintahan marga terdapat dusun atau kampung yang
dikepalai oleh penghulu atau kepala dusun atau Kepala Kampung.
5.
Pada
masa pemerintahan Belanda tidak terdapat perubahan struktur pemerintahan di
daerah Jambi. Daerah ini merupakan salah satu karesidenan dari 10 karesidenan
yang dibentuk Belanda di Sumatera yaitu: Karesidenan Aceh, Karesidenan
Tapanuli, Karesidenan Sumatera Timur, Karesidenan Riau, Karesidenan Jambi,
Karesidenan Sumatera Barat, Karesidenan Palembang, Karesidenan Bengkulu,
Karesidenan Lampung, dan Karesidenan Bangka Belitung.
6.
Khusus
Karesidenan Jambi yang beribu kota di Jambi dalam pemerintahannya dipimpin oleh
seorang Residen yang dibantu oleh dua orang asisten residen dengan
mengkoordinasikan beberapa Onderafdeeling. Keadaan ini berlangsung sampai
masuknya bala tentera Jepang ke Jambi pada tahun 1942.
7.
Penduduk
asli Provinsi Jambi terdiri dari beberapa suku bangsa, antara lain Melayu
Jambi, Batin, Kerinci, Penghulu, Pindah, Anak Dalam (Kubu), dan Bajau. Suku
bangsa yang disebutkan pertama merupakan penduduk mayoritas dari keseluruhan
penduduk Jambi, yang bermukim di sepanjang dan sekitar pinggiran sungai
Batanghari.
8.
Suku
Kubu atau Anak Dalam dianggap sebagai suku tertua di Jambi, karena telah
menetap terlebih dahulu sebelum kedatangan suku-suku yang lain. Mereka diperkirakan
merupakan keturunan prajurit-prajurit Minangkabau yang bermaksud memperluas
daerah ke Jambi. Ada sementara informasi yang menyatakan bahwa suku ini
merupakan keturunan dari percampuran suku Wedda dengan suku Negrito, yang
kemudian disebut sebagai suku Weddoid.
9. Orang
Anak Dalam dibedakan atas suku yang jinak dan liar. Sebutan “jinak” diberikan
kepada golongan yang telah dimasyarakatkan, memiliki tempat tinggal yang tetap,
dan telah mengenal tata cara pertanian. Sedangkan yang disebut “liar” adalah
mereka yang masih berkeliaran di hutan-hutan dan tidak memiliki tempat tinggal
tetap, belum mengenal sistem bercocok tanam, serta komunikasi dengan dunia luar
sama sekali masih tertutup.
10.
Suku-suku
bangsa di Jambi pada umumnya bermukim di daerah pedesaan dengan pola yang
mengelompok. Mereka yang hidup menetap tergabung dalam beberapa larik (kumpulan
rumah panjang beserta pekarangannya). Setiap desa dipimpin oleh seorang kepala
desa (Rio), dibantu oleh mangku, canang, dan tua-tua tengganai (dewan desa).
Mereka inilah yang bertugas mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan
hidup masyarakat desa.
11. Strata
Sosial masyarakat di Jambi tidak mempunyai suatu konsepsi yang jelas tentang
sistem pelapisan sosial dalam masyarakat. Oleh sebab itu jarang bahkan tidak
pernah terdengar istilah-istilah atau gelar-gelar tertentu untuk menyebut
lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat. Mereka hanya mengenal sebutan-sebutan
yang “kabur” untuk menunjukkan status seseorang, seperti orang pintar, orang
kaya, orang kampung, dsb.
12. Pakaian.
Pada awalnya masyarakat pedesaan mengenal pakaian sehari-hari berupa kain dan
baju tanpa lengan. Akan tetapi setelah mengalami proses akulturasi dengan
berbagai kebudayaan, pakaian sehari-hari yang dikenakan kaum wanita berupa baju
kurung dan selendang yang dililitkan di kepala sebagai penutup kepala.
Sedangkan kaum pria mengenakan celana setengah ruas yang menggelembung pada
bagian betisnya dan umumnya berwarna hitam, sehingga dapat leluasa bergerak
dalam melakukan pekerjaan sehari-hari. Pakaian untuk kaum pria ini dilengkapi
dengan kopiah.
0 Response to "Wilayah Kerajaan Jambi"
Posting Komentar